Breaking News

Monday 21 March 2016

Kognitivisme, Musik dan Kajian Perilaku

Salam...

Kognitivisme, Musik dan Kajian Perilaku

Semoga pembaca berada pada keadaan yang sangat menggembirakan, pada kali ini saya akan menulis sedikit tentang musik yang saya kutip dari penulis Djohan dalam bukunya yang berjudul Psikologi Musik cetakan #3.


Kognitivisme

Fisikawan positivistik umumnya menganalisis sebuah musik melalui berbagai pendekatan eksak. Dengan asumsi bila hendak mengaplikasikan sains pada musik, maka sains terlebih dahulu harus dapat menguraikan sebanyak mungkin materialnya. Biasanya sains dapat diaplikasikan secara berhasil pada musik melalui pendekatan kognitif-saintifik. Di dalamnya meliputi semua studi aspek pikiran dari perilaku musikal pada semua tingkat, termasuk penggunaan terminologi: neurofisiologi, psikoakustik, psikologi kognitif, dan psikologi budaya baik secara teoritis maupun empiris.
Sebagai komplemen definisi awal melalui perspektif kognitif, musik juga dikatakan produk konvensi budaya yang fakta perwujudannya secara otomatis hadir dalam kognisi anggota budaya tersebut. Budaya disini merupakan sekelompok orang yang menanggung kebutuhan, lingkungan, perhatian, dan nilai bersama yang teridentifikasi serta terpilih secara teratur oleh sensitivitas terhadap suara, produksi suara saat ini, masa lalu, serta suara yang telah dimodifikasi.
Pengadopsian aliran kognitifistik memerlukan aplikasi dari pengetahuan kognitif musik sebagai salah satu upaya untuk menjelaskan hubungan antara musik sebagai pengalaman dan musik sebagai wacana saintifik. Sering kali kekuatan koneksitas yang diperoleh dari satu sumber disamaratakan dengan prediksi bahwa kondisi tersebut diakibatkan oleh proses interaksi dengan kehidupan ini.
Di luar itu, aplikasi pengetahuan kognitif dalam musik menawarkan kemungkinan pandangan-pandangan dinamis yang disebut sebagai “bentuk logis dan eksplikasi berbetntuk naratif”. Dinamika ini secara umum tidak disadari tetapi cukup rumit dalam artian mungkin kurangtepat karena mengandalkan pengetahuan kognitif yang diaplikasikan secara imajinatif. Tentu saja pengetahuan kognitif dapat menyumbangkan pandangan baru tetapi bukan berarti harus dilakukan dengan cara yang dimaksud. Sebagai konsekuensinya adalah banyak kritik dengan maksud untuk mempertajam, menguji penemuan-penemuan yang sudah ada serta relevansi dan kontinuitas teoritisnya.
Musik hidup dan berkembang seiring dengan kebutuhan manusia. Apalagi sifat dasar pikiran manusia homo sapiens (spesies kita) secara struktur berbeda dengan pendahulu seperti, homo erectus atau homo sapiens naenderthalensis. Suatu perbedaan yang sangat melekat adalah kecenderungan perkembangan pada bayi yang harus melalui proses “representasi-redeskripsi” sebagai proses pembentukan mata rantai dan integrasi antar domain-kapasitas khusus yang menghasilkan kekuatan baru, yaitu domain-representasi independen dan kompetensi. Representasi suara manusia adalah tonal yang tidak dapat dipahami sebagai suara kicauan burung. Misalnya, seorang ibu yang memanggil anaknya dari kejauhan: He-n-NNN-driiii....; suara yang terdengar memang musikal (bernada dan berinterval) tetapi tidak bisa disebut musik. Manusia bisa mendengarkan suara musik karena memiliki kemampuan otak yang kompleks dalam memanipulasi pola suara lebih dari kemampuan makhluk yang lainnya.
Secara otentik, kemampuan musikal adalah karakteristik umum manusia, bukan suatu bakat luar biasa. Dari aspek komunikasi personal, musik sudah terdapat dalam kompetensi homo nederthalensis tetapi kemungkinan besar bangkit bersama dengan homo sapiens. Lain dengan argumen sebelumnya, yang menyebutkan bahwa tanda-tanda kapasitas musikal sebenarnya sudah ada di seluruh muka bumi. Sehingga disimpulkan bahwa salah satu dari fungsi kapasitas musikal adalah untuk memfasilitasi proses representasi-redeskripsi, dengan menyediakan objek secara tidak langsung sebagai wujud dari integrasi antara informasi dan kompetensi yang melampaui modalitas dan domainnya. Ketika kita berbicara mengenai kombinasi Pitch atau interaval sebenarnya, sangat diharapkan ada pembicaraan baru mengenai realitas psikoakusitk pula.

Musik dan Kajian Perilaku

                Dalam pemahaman sehari-hari, musik cukup sering dikaitkan dengan hal perasaan. Di lain sisi, musik sering dianggap sebagai sarana untuk mengungkapkan isi perasaan, dan di sisi lain musik juga dianggap dapat menggugah perasaan pendengarnya. Karena kedekatannya dengan kehidupan manusia, maka pembahasan tentang musik hampir sering terkait dengan pembahasan mengenai perilaku dan sifat manusia (Sloboda & O’Neill, 2001). Mereka yang bergulat dalam dunia musik membenarkan bahwa komposisi musik tidak mungkin bisa dipisahkan dari gejolak perasaan penciptanya, lain hal bagi mereka yang menikmati musik, setiap rangkaian melodi, irama, timbre, dan dinamika sangat memungkinkan menimbulkan perasaan tertentu yang berbeda-beda.
                Keterkaitan musik dalam hal perasaan manusia ini ternyata justru membuat pembahasan di bidang musik dan hal emosi tidak dapat dirasakan sebagai hal yang mendesak. Jika penelitian tentang musik dan tumbuh kembang anak segera merebut pasaran, begitu pula kajian ilmiah di bidang musik dan kognisi, tetapi tidak demikian dengan kajian musik dan emosi. Selain belum banyak diteliti, kajian musik dan emosi juga tidak dapat hanya diukur dengan parameter yang ada. Mengingat emosi sangat terkait dengan latar belakang dan kepribadian serta perbedaan individu. Musikologi, sebagai ilmu yang mempelajari tentang musik, terasa lebih dititik beratkan pada kajian-kajian limiah seputar ilmu komposisi musik, kritik musik, sejarah musik, dan kajian teoritis musik dibandingkan dengan kajian tentang perilaku pencipta, pendengar atau nilai estetis yang menyertainya (Clayton, 2003).
                Sementara kajian dari segi psikologi belum optimal, meski telah lama diermati bahwa musik dan perilaku memiliki pengaruh timbal balik (mutual influence). Dalam kajian tentang musik dan perilaku, Clarke (2003) menyatakan bahwa prinsip-prinsip psikologi sebenarnya dapat menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi dalam musik. Dari sisi sebaliknya, Sloboda (2001) mengemukakan bahwa melalui materi musik akan lebih mudah untuk melakukan kajian mulai dari pemahaman diri sampai ke epkspresi emosi. De Nora (2001) bahkan menegaskan bahwa musik bisa jadi dan merupakan “cermin” bagi diri seseorang.
                Selanjutnya, musik diakui sedemikian berpengaruhnya pada perilaku dan sifat manusia yang berimbas pada perkembangan baru dalam jenis-jenis musik yang menyebar di masyarakat cenderung mulai diterima  dengan sangat hati-hati karena dikhawatirkan membawa dampak tertentu. Dicontohkan bagaimana kehadiran musik Jazz di masa lalu ditakutkan dapat merusak kekhusyukan musik gerja (Juslin dan Sloboda, 2001). Di indonesia sebuah konser musik rock atau dangdut bisa  diasosiasikan mengenai kemungkinan histeria atau amuk masa.
                Pengaruh musik teradap perilaku, menurut Vink (2001) juga menjadi salah satu dasar utama berkembanya kajian-kajian baru dibidang psikologi klinis seperti terapi musik. Juga diakui bahwa elemen-elemen dalam musik memiliki tugasnya masing-masing untuk mendukung suatu terapi perilaku. Dalam bidang kehidupan lainnya musik juga diyakini memiliki dampak khusus terhadap perilaku karena jenis musik tertentu dianggap dapat membawa respons yang berbeda dari perilaku manusia. Namun, pendekatan psikologi terhadap masalah perilaku dalam bidang musik dirasakan terlalu terpaku terhadap perilaku beserta mekanismenya, sementara musikologi lebih terfokus pada detil dari sebuah fenomena khusus. Perbedaan perspektif ini kemudian dijembatani oleh Psikologi Musik yang mencoba memberikan perhatian yang lebih seimbang. Yaitu, antara keberadaan elemen musikal dan aspek perilaku manusia dalam mencipta, mengalami, mendengar, dan memahami musik (Frith, 2003).

                Akhirnya, dari semua eksplanasi di atas dapat disimpulkan bahwa secara psikologis, kajian Psikologi Musik terutama sekali berlandaskan pada persepsi dan produksi musik melalui tiga orientasi, yaitu (1) psikofisik atau psikoakusitk yang menjelaskan tentang tanggung jawab mekanisme sensori atas persepsi pitch, dinamika, tempo, dan timbre, (2) psikologi kognitif yang membahas karakterisasi atas pengetahuan dan proses kinerja persepsi, memori serta emosi, dan (3) neuropsikologi yang mengkaji dasar-dasar neurofisiologis persepsi musik dan kinerjanya melalui pengamatan klinis yang secara khusus terkait dengan gangguan atau kerusakan pada otak.

No comments:

Post a Comment

Designed By Published.. Blogger Templates