Salam…
Musik Sebagai Perilaku
Semoga pembaca
berada pada keadaan yang sangat menggembirakan, pada kali ini saya akan menulis
sedikit tentang musik yang saya kutip dari penulis Djohan dalam bukunya yang
berjudul Psikologi Musik cetakan #3.
Musik
juga dikatakan sebagai perilaku sosial yang kompleks dan universal. Setiap
masyarakat memiliki apa yang kita sebut sebagai musik, oleh karena itu semua penghuni
masyarakat merupakan potret dari
kehidupan yang musikal. Kalaupun ada
yang tidak seperti pengertian diatas, biasanya disebabkan oleh faktor budaya.
Pada budaya barat terdapat perbedaan tajam antara siapa yang berperan
“memproduksi” musik dan yang berperan “mengkonsumsi” nya. Walau kenyataanya
hampir semua golongan masyarakat dapat “mengkosumsi” musik, mendengar,
terinpsirasi mengikuti gerak irama, dan mengembangkannya. Dengan demikian,
mayoritas diam pun adalah masyarakat yang musikal dalam kapasitas pemahaman di
atas.
Munculnya
psikologi musik kognitif secara evolusioner pada dekade terakhir ini mendorong
meningkatnya penelitian tentang mengapa seseorang dapat dikatakan musikal. Ada
yang mengatakan bahwa musik hanya sebuah produk evolusi yang menyenangkan
tetapi tidak begitu penting. Ada pula yang berpendapat bahwa musik ikut
memainkan peran penting dalam evolusi manusia. Dibalik perilaku dan tindakan
manusia terdapat pikiran-pikiran yang terkonsentrasi di dalam otak. Bertepatan
dengan pandangan umum bahwa tubuh manusia adalah produk dari sebuah proses
evolusi. Operasionalisasi proses evolusi tersebut terdiri dari: (1) modifikasi
acak yang mengakibatkan lahirnya organisme dengan kapasitas yang berbeda; (2)
seleksi alam, yang terjadi melalui desakkan ekologis dan membuat organisme
harus berjuang dalam menghadapi lingkungannya, serta (3) perbedaan reproduksi,
sebagai akibat dari organisme yang beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
Seperti
yang banyak dipahami orang bahwa otak manusia merupakan bagian dari tubuh
sekaligus sebagai produk evolusi, tetapi ada yang menolak juga bila dikatakan
pikiran dan perilaku manusia itu khusus dan ditentukan oleh genetika. Beberapa
penelitian berdasarkan genetika mengenai musik sebagai perilaku yang kompleks
juga telah banyak dilakukan. Ada yang tetap berkeyakinan bahwa musik berasal
dari evolusi kuno dan musikalitas adalah kapasitas manusia yang dimiliki oleh
semua makhluk hidup termasuk primata atau bahkan burung.
Untuk
merunut asal-usul musik, Marler (2000) menggunakan metode “phonocoding”, yaitu suatu
cara menghasilkan warna suara baru dengan mengkombinasi-ulang suara yang ada
guna menghasilkan sinyal yang berbeda. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan
bahwa musik dan suara kicauan suara burung memiliki ciri0ciri yang
signifikan yaitu sinyal mereka memiliki
pertautan evolusioner. Walau dikatakan bahwa suara yang dihasilkan manusia sama
kompleks dengan yang dihasilkan burung, tetapi tidak demikian dengan primata.
Sehingga para peneliti menyimpulkan bahwa hubungan antara musik dan manusia dan
nyanyian burung adalah analogi bukan homologi. Artinya, hanya memiliki
kemiripan.
Miller
(2001) mengatakan bahwa perilaku musik yang rumit dalam sebuah pertunjukan
musik adalah sama dengan wujud dari kapasitas yang diwariskan sejak nenek
moyang primata untuk menunjukkan sifat “protean” nya. Yakni merupakan sebuah
perilaku/tingkah yang terprediksi dengan maksud ingin menarik perhatian
pasangannya. Bagi Miller, musikalitas adalah perilaku yang terkondisi secara
genetis. Sedangkan tingkat ekspresi musikalitas diperoleh dari sifat genetika
yang berbeda dalam perilaku protean.
Ketika
manusia saling berinteraksi, maka terjadi proses yang saling menambah tingkat pemahaman
yang akan berperan sebagai sebuah budaya tersendiri yang secara signifikan ikut
berperan dalam memahami persepsi dan juga kognisi. Perkembangan perilaku
musikal pada kenyataanya sangat dipengaruhi oleh proses evolusi didalam hal
pikiran. Ada beberapa bukti yang menunjukkan tentang anak-anak yang lebih cepat
mengembangkan kompetesi dalam hal musikal sebagai hasil dari proses belajar oleh
karena melibatkan interaksi yang sejalan dengan lingkungannya. Bayi yang masih
sangat belia secara cepat dapat mengisyaratkan perilaku bereaksi secara
mengejutkan terhhadap pengalaman yang kadang dirasa melawan hukum fisik.
Terutama
sekali mereka merespons suara melalui ekspresi wajah yang berbeda. Pandangan
ini dilengkapi dengan aspek biologi intuitif, fisik, dan psikologi. Bayi
belajar bahasa secara cepat dan terampil, seolah mereka datang ke dunia
“terutama” sekali hanya untuk bahasa walaupun pada prosesnya dibutuhkan
kontinuitas interaksi dengan orang lain. Peristiwa di dalam sebuah evolusi
dapat dianggap sebagai tindakan pikiran guna mempertajam
kecenderungan-kecenderungan yang belum dimiliki. Sehingga usia bayi dan
anak-anak adalah masa yang cepat untuk mengerti informasi -informasi tertentu
tanpa kita perlu mengajarkannya.
No comments:
Post a Comment