Salam...
Kognitivisme, Musik dan Kajian Perilaku
Semoga pembaca
berada pada keadaan yang sangat menggembirakan, pada kali ini saya akan menulis
sedikit tentang musik yang saya kutip dari penulis Djohan dalam bukunya yang
berjudul Psikologi Musik cetakan #3.
Kognitivisme
Fisikawan
positivistik umumnya menganalisis sebuah musik melalui berbagai pendekatan
eksak. Dengan asumsi bila hendak mengaplikasikan sains pada musik, maka sains
terlebih dahulu harus dapat menguraikan sebanyak mungkin materialnya. Biasanya
sains dapat diaplikasikan secara berhasil pada musik melalui pendekatan kognitif-saintifik.
Di dalamnya meliputi semua studi aspek pikiran dari perilaku musikal pada semua
tingkat, termasuk penggunaan terminologi: neurofisiologi, psikoakustik, psikologi
kognitif,
dan psikologi
budaya
baik secara teoritis maupun empiris.
Sebagai
komplemen definisi awal melalui perspektif kognitif, musik juga dikatakan
produk konvensi budaya yang fakta perwujudannya secara otomatis hadir dalam
kognisi anggota budaya tersebut. Budaya disini merupakan sekelompok orang yang
menanggung kebutuhan, lingkungan, perhatian, dan nilai bersama yang
teridentifikasi serta terpilih secara teratur oleh sensitivitas terhadap suara,
produksi suara saat ini, masa lalu, serta suara yang telah dimodifikasi.
Pengadopsian aliran kognitifistik memerlukan
aplikasi dari pengetahuan kognitif musik sebagai salah satu upaya untuk
menjelaskan hubungan antara musik sebagai pengalaman dan musik sebagai wacana
saintifik. Sering kali kekuatan koneksitas yang diperoleh dari satu sumber
disamaratakan dengan prediksi bahwa kondisi tersebut diakibatkan oleh proses
interaksi dengan kehidupan ini.
Di luar itu,
aplikasi pengetahuan kognitif dalam musik menawarkan kemungkinan
pandangan-pandangan dinamis yang disebut sebagai “bentuk logis dan eksplikasi berbetntuk
naratif”. Dinamika ini secara umum
tidak disadari tetapi cukup rumit dalam artian mungkin kurangtepat karena
mengandalkan pengetahuan kognitif yang diaplikasikan secara imajinatif. Tentu
saja pengetahuan kognitif dapat menyumbangkan pandangan baru tetapi bukan
berarti harus dilakukan dengan cara yang dimaksud. Sebagai konsekuensinya
adalah banyak kritik dengan maksud untuk mempertajam, menguji penemuan-penemuan
yang sudah ada serta relevansi dan kontinuitas teoritisnya.
Musik hidup
dan berkembang seiring dengan kebutuhan manusia. Apalagi sifat dasar pikiran
manusia homo sapiens (spesies kita) secara struktur berbeda dengan
pendahulu seperti, homo erectus atau homo sapiens naenderthalensis. Suatu
perbedaan yang sangat melekat adalah kecenderungan perkembangan pada bayi yang
harus melalui proses “representasi-redeskripsi” sebagai proses pembentukan mata
rantai dan integrasi antar domain-kapasitas khusus yang menghasilkan kekuatan
baru, yaitu domain-representasi independen dan kompetensi. Representasi suara
manusia adalah tonal yang tidak dapat dipahami sebagai suara kicauan burung.
Misalnya, seorang ibu yang memanggil anaknya dari kejauhan:
He-n-NNN-driiii....; suara yang terdengar memang musikal (bernada dan berinterval) tetapi tidak bisa disebut musik. Manusia
bisa mendengarkan suara musik karena memiliki kemampuan otak yang kompleks
dalam memanipulasi pola suara lebih dari kemampuan makhluk yang lainnya.
Secara
otentik, kemampuan musikal adalah
karakteristik umum manusia, bukan suatu bakat luar biasa. Dari aspek komunikasi
personal, musik sudah terdapat dalam kompetensi homo nederthalensis
tetapi kemungkinan besar bangkit bersama dengan homo sapiens. Lain dengan
argumen sebelumnya, yang menyebutkan bahwa tanda-tanda kapasitas musikal
sebenarnya sudah ada di seluruh muka bumi. Sehingga disimpulkan bahwa salah
satu dari fungsi kapasitas musikal adalah untuk memfasilitasi proses
representasi-redeskripsi, dengan menyediakan objek secara tidak langsung
sebagai wujud dari integrasi antara informasi dan kompetensi yang melampaui modalitas dan domainnya. Ketika kita
berbicara mengenai kombinasi Pitch atau interaval sebenarnya, sangat diharapkan
ada pembicaraan baru mengenai realitas psikoakusitk pula.
Musik dan Kajian Perilaku
Dalam
pemahaman sehari-hari, musik cukup sering dikaitkan dengan hal perasaan. Di lain
sisi, musik sering dianggap sebagai sarana untuk mengungkapkan isi perasaan,
dan di sisi lain musik juga dianggap dapat menggugah perasaan pendengarnya.
Karena kedekatannya dengan kehidupan manusia, maka pembahasan tentang musik
hampir sering terkait dengan pembahasan mengenai perilaku dan sifat manusia
(Sloboda & O’Neill, 2001). Mereka yang bergulat dalam dunia musik membenarkan
bahwa komposisi musik tidak mungkin bisa dipisahkan dari gejolak perasaan
penciptanya, lain hal bagi mereka yang menikmati musik, setiap rangkaian
melodi, irama, timbre, dan dinamika sangat memungkinkan menimbulkan perasaan
tertentu yang berbeda-beda.
Keterkaitan
musik dalam hal perasaan manusia ini ternyata justru membuat pembahasan di
bidang musik dan hal emosi tidak dapat dirasakan sebagai hal yang mendesak.
Jika penelitian tentang musik dan tumbuh kembang anak segera merebut pasaran,
begitu pula kajian ilmiah di bidang musik dan kognisi, tetapi tidak
demikian dengan kajian musik dan emosi. Selain belum banyak diteliti, kajian
musik dan emosi juga tidak dapat hanya diukur dengan parameter yang ada.
Mengingat emosi sangat terkait dengan latar belakang dan kepribadian serta
perbedaan individu. Musikologi, sebagai ilmu yang mempelajari tentang musik, terasa
lebih dititik beratkan pada kajian-kajian limiah seputar ilmu komposisi musik,
kritik musik, sejarah musik, dan kajian teoritis musik dibandingkan dengan
kajian tentang perilaku pencipta, pendengar atau nilai estetis yang
menyertainya (Clayton, 2003).
Sementara
kajian dari segi psikologi belum optimal, meski telah lama diermati bahwa musik
dan perilaku memiliki pengaruh timbal balik (mutual influence). Dalam
kajian tentang musik dan perilaku, Clarke (2003) menyatakan bahwa
prinsip-prinsip psikologi sebenarnya dapat menjelaskan berbagai fenomena yang
terjadi dalam musik. Dari sisi sebaliknya, Sloboda (2001) mengemukakan bahwa
melalui materi musik akan lebih mudah untuk melakukan kajian mulai dari
pemahaman diri sampai ke epkspresi emosi. De Nora (2001) bahkan menegaskan
bahwa musik bisa jadi dan merupakan “cermin” bagi diri seseorang.
Selanjutnya,
musik diakui sedemikian berpengaruhnya pada perilaku dan sifat manusia yang
berimbas pada perkembangan baru dalam jenis-jenis musik yang menyebar di
masyarakat cenderung mulai diterima
dengan sangat hati-hati karena dikhawatirkan membawa dampak tertentu.
Dicontohkan bagaimana kehadiran musik Jazz di masa lalu ditakutkan dapat
merusak kekhusyukan musik gerja (Juslin dan Sloboda, 2001). Di indonesia sebuah
konser musik rock atau dangdut bisa diasosiasikan mengenai kemungkinan histeria atau
amuk masa.
Pengaruh
musik teradap perilaku, menurut Vink (2001) juga menjadi salah satu dasar utama
berkembanya kajian-kajian baru dibidang psikologi klinis seperti terapi musik.
Juga diakui bahwa elemen-elemen dalam musik memiliki tugasnya masing-masing
untuk mendukung suatu terapi perilaku. Dalam bidang kehidupan lainnya musik
juga diyakini memiliki dampak khusus terhadap perilaku karena jenis musik
tertentu dianggap dapat membawa respons yang berbeda dari perilaku manusia.
Namun, pendekatan psikologi terhadap masalah perilaku dalam bidang musik
dirasakan terlalu terpaku terhadap perilaku beserta mekanismenya, sementara musikologi
lebih terfokus pada detil dari sebuah fenomena khusus. Perbedaan perspektif ini
kemudian dijembatani oleh Psikologi Musik yang mencoba memberikan perhatian
yang lebih seimbang. Yaitu, antara keberadaan elemen musikal dan aspek perilaku
manusia dalam mencipta, mengalami, mendengar, dan memahami musik (Frith, 2003).
Akhirnya,
dari semua eksplanasi di atas dapat disimpulkan bahwa secara psikologis, kajian
Psikologi Musik terutama sekali
berlandaskan pada persepsi dan produksi musik melalui tiga orientasi, yaitu (1)
psikofisik
atau psikoakusitk
yang menjelaskan tentang tanggung jawab mekanisme sensori atas persepsi pitch,
dinamika, tempo, dan timbre, (2) psikologi kognitif yang membahas karakterisasi
atas pengetahuan dan proses kinerja persepsi, memori serta emosi, dan (3) neuropsikologi
yang mengkaji dasar-dasar neurofisiologis persepsi musik dan kinerjanya melalui
pengamatan klinis yang secara khusus terkait dengan gangguan atau kerusakan
pada otak.
No comments:
Post a Comment